MAJALAH AL-HIKMAH EDISI 04 | 2016
9 keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan populariti, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, sep- erti solat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ber- pendapat, erti ikhlas karena Al- lah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepa- da Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya. SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ula- ma yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang me- mang dimudahkan Allah. Imam Sufyan Ats Tsauri berka- ta, “Tidaklah aku mengubati sesuatu yang lebih berat da- ripada mengubati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2] Karena itu Rasulullah s.a.w berdoa: ﯾَﺎ ﻣُﻘَﻠِّﺐَ اﻟﻘُﻠُﻮْبِ ، ﺛَﺒِّﺖْ ﻗَﻠْﺒِﻲْ ﻋَﻠَﻰ دِﯾْﻨِﻚَ Ya, Rabb yang membolak- balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu. Lalu seorang sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa kepada ka- mi?” Beliau s.a.w menjawab, “Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Al- lah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmi- dzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Sahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah , no. 225 dari sahabat Anas]. Yahya bin Abi Katsir berka- ta,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3] Muththarif bin Abdullah ber- kata, “Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4] Pernah ada orang bertan- ya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia menjawab, “Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5] Dikisahkan ada seorang ‘ alim yang selalu solat di saf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat solat di saf kedua. Di dalam benaknya terdetik rasa malu kepada para jamaah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika solat di saf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. [6]
Made with FlippingBook
RkJQdWJsaXNoZXIy NzMyMDE=